Ke-MahaBaikan Tuhan yang Dipertanyakan

Sumber: deviantart.com
“Tek pintermu koyok opo, aku iku iseh durung iso percoyo kok ono wong sing mateni wong sangang puluh songo dingapuro”
“Meskipun kamu sudah dikata pintar seperti apa, aku masih belum bisa percaya pada pengampunan untuk orang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang”
~~~
Aku tercengang mendengar perkataan orang tua di celah-celah cangkrukan warung kopi siang itu. Ternyata memang ada yang tidak bisa menerima kebaikan Tuhan yang begitu luar biasa. Kebaikan yang tak sanggup dibayangkan. Tak dapat diterima akal sebagian orang. Memang begitulah Tuhan, tak sanggup dijangkau akal pikiran.
Orang tua itu melanjutkan perkataannya, “Wong mateni wong siji wae wes ora karuan”, “Orang membunuh satu orang aja dosanya udah banyak sekali”. Dan aku yang paling muda serta kedangkalan pengetahuan yang kumiliki hanya bisa menimpali, “Niku dalil kagem tiang supados saget mbalek sae, Mbah. Mboten kok kanggo nglakoni keelekan”. Ringkasnya dalil tersebut agar orang bisa kembali baik, bukan untuk melegalkan perbuatan buruk. Tentu sekelumit kataku tak bisa membuat orang tua itu lantas mengangguk, ia tetap kukuh dengan ketidakpercayaannya.
Aku yang dulu ketika mengaji selalu terkagum-kagum dengan kebesaran pengampunan Tuhan yang dilukiskan dengan kisah pembunuh 99 orang yang ingin bertobat, sekarang ternyata dihadapkan langsung dengan orang yang tak bisa menerima itu. Sungguh dunia ini berjalan sesuai rencana-Nya, aku tak pernah membayangkan akan mendapati posisiku di warung kopi siang itu.
Jika kebaikan Tuhan yang dilukiskan dengan kebaikan dan pengampunan saja ada yang tidak bisa menerimanya, apalagi kebaikan-kebaikan-Nya yang tidak jarang terbungkus dengan sesuatu yang kita anggap kesialan. Bagaimana orang miskin yang kekurangan makan dan terkena penggusuran akan merasakan kebaikan Tuhan?
Aku bersyukur telah dijadikan bagian dari hamba-hamba yang bisa merasakan kebaikan-kebaikan-Nya yang teramat banyak. Sungguh benar sebaik-baik nikmat adalah nikmat iman. Bagaimana kita akan tetap mempercayai kebaikan Tuhan ketika kita dalam kesusahan, kemiskinan, dan mendapatkan cobaan yang bertubi-tubi, jika kita tidak berbekal iman yang terpatri dalam sanubari.
Iman ibarat ladang, darinya lalu tumbuh tanaman-tanaman yang berbagai macam, ada yang namanya tawakkal, sabar, syukur, husnudzan dan bunga-bunga mewangi lainnya. Tanpa ladang bagaimana kita mengharapkan kebun yang asri, taman yang indah untuk dinikmati.
Apakah orang beriman akan selalu merasakan kehadiran serta kebaikan-kebaikan Tuhan? Tunggu dulu, iman seseorang juga bertingkat-tingkat. Ada istilah iman bertambah dan berkurang. Terkadang orang beriman juga merasa ditinggalkan Tuhan ketika ia mendapatkan suatu cobaan yang dirasa berat dan tak segera menemukan benderang. Ladang itu tak otomatis menumbuhkan tanaman-tanaman sabar, syukur, husnudzan dsb. Tanaman-tanaman ini akan tumbuh besar dan menjadi banyak bila mendapatkan pupuk, pengairan dan sinar matahari yang cukup serta hama-hama yang mengganggunya dihilangkan.
Kita dapat memupuknya dengan ber-tafakkur. Jangan tergesa-gesa memaknai apa yang terjadi pada kita sebagai murni musibah saja. Coba kita pikir-pikir, siapa tahu di dalamnya mengandung banyak pelajaran hidup yang dapat kita petik dan kita nikmati kala itu, lebih-lebih jika ada yang bisa kita simpan untuk perjalanan yang akan datang.
Kita bisa menyirami tanaman-tanaman ini dengan ilmu pengetahuan. Dengan menambah banyak literasi kita bisa mendapatkan contoh-contoh kehidupan terdahulu yang semuanya tidak ada yang lepas dari cobaan. Kita tahu para utusan Tuhan juga mengalami ujian yang berkali-kali lipat, bukan berarti mereka ditinggalkan Tuhan, tapi ujian itu semakin mendekatkan hubungannya dengan Tuhan.
Kita juga harus terus mendekat kepada-Nya agar tanaman-tanaman kita tersinari oleh cahaya kehidupan-Nya. Ia lah satu-satunya Dzat yang dapat menumbuhkan. Semua anugerah berasal dari-Nya. Tak ada satu sifat kebaikan yang kita miliki kecuali hanya Ia yang memberikannya. Kita harus selalu ber-taqarrub, mendekat dan terus mendekat kepada-Nya. Dunia serta kejadian di dalamnya terlalu besar untuk pikiran dan pengetahuan kita yang tak ubahnya setetes samudera.
Semoga kita senantiasa diberikan bimbingan serta pertolongan-Nya dalam menjalani kehidupan ini.
Muhammad Hisyam Malik, Member YIPC Yogyakarta, Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga