Komunikasi Interkultural dalam Moderasi Beragama
Sebagai negara yang memiliki banyak sekali keanekaragaman agama, suku, ras dan keyakinan, saat ini penghayat kepercayaan sudah diakui secara sah oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsekuensinya penghayat kepercayaan dapat memasukkannya ke dalam kolom agama dengan nama penghayat.
Hal ini menjadi salah satu langkah progresif yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan multikultural. Dengan dimasukkanya penghayat ke dalam identitas E-KTP, tentunya menambah keberagaman agama.
Adanya ketetapan diakuinya Penghayat ini telah melalui masa panjang. 41 tahun masa penantian, akhirnya Majelis Hakim mengabulkan permohonan sebagaimana yang dihimpun dalam berita (Erdianto, 2017), yakni: pertama, memutuskan diksi “agama” di dalam pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah diubah dengan Undang Undang nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk dalam aliran kepercayaan.
Adanya penetapan ini tentunya diawali dengan pertemuan dan dialog antara pemangku kebijakan dengan umat penghayat kepercayaan. Kepercayaan dan penghayat merupakan bagian dari Public Value. Tentunya Public Value ini dapat diketahui jika telah dilakukan ruang dialog untuk menemukan Voice dan Public Interest.
Terpenuhinya public interest ini dapat meningkatkan public trust. Kepercayaan menjadi salah satu pondasi untuk membangun kehidupan beragama. Elemen membangun kepercayaan ini dapat diwadahi dengan adanya komunikasi interkultural.
Adanya demokrasi yang mengutamakan diskusi dan menjadi wadah untuk menyampaikan keresahan dapat menjadi batu pijakan terbinanya komunikasi dua arah. Komunikasi ini dapat menghargai dan mengakui adanya suara dari kaum termarjinalkan sehingga tidak merasa dibungkam.
Komunikasi interkultural merupakan komunikasi yang melibatkan dua pihak atau lebih yang berbeda saling melibatkan interaksi di antara orang-orang yang berbeda persepsi budaya dan sistem simbolnya (Paramita & Sari, 2016). Komunikasi interkultural dapat menjadi conciliation dari pihak-pihak yang memiliki keinginan dan pendapat berbeda satu sama lain.
Di samping itu kunci dari kesuksesan sebuah komunikasi ialah pengetahuan. Pengetahuan dapat menjadi sumber pelita untuk memahami permasalahan potensial yang muncul dan menjadi pemantik untuk memunculkan solusi solusi alternatif terhadap masalah yang sedang dihadapi. Komunikasi yang intens dan inklusif dapat menghalau dan menjadi afirmasi positif terhadap berita yang muncul. Prasangka dan penilaian buruk dapat dikonfirmasi kebenarannya.
Komunikasi dapat menyeimbangkan penilaian kebenaran. Mengingat kebenaran dapat bersifat subjektif. Faktor yang mempengaruhi komunikasi intercultural menurut Liliweri (Ammria, 2017) adalah pertama, kinestik, yaitu bahasa dan gerak tubuh.
Kedua okulesik yakni gerakan mata dan posisi mata. Ketiga, haptik perabaan. Keempat, proksemik ialah hubungan antara ruang, jarak dan waktu ketika berkomunikasi, dan yang terakhir, kronemik tentang konsep ketepatan waktu. Komunikasi interkultural juga termasuk dari love language.
Dampak dari komunikasi intercultural terhadap moderasi beragama ini jika berkaca pada fenomena diakuinya aliran penghayat kepercayaan oleh pemerintah yakni: pertama, munculnya rasa memiliki dan terimplementasinya amanat dari moderasi beragama.
Kedua, terpenuhinya hak yang selama ini belum pernah dirasakan seperti tidak mendapat diskriminasi. Ketiga, membantu meminimalisir konflik laten dan salah paham. Keempat, memiliki identitas dan pengakuan atas kepercayaan yang diyakini.
Untuk melakukan komunikasi intercultural ini dapat dilakukan dari diri sendiri seperti tidak ikut menyebarkan saran dan komentar buruk terhadap agama lain di kolom media sosial, menghargai privasi orang lain dengan meminta izin Ketika mem-video maupun mem-foto aktivitas ibadah orang lain, membantu sesama tetangga yang kesusahan dan menjadi support sistem yang baik.
Referensi
Ammria, H. (2017). KOMUNIKASI DAN BUDAYA. Jurnal Peurawi, 16.
Erdianto, K. (2017, November 07). Retrieved from https://nasional.kompas.com/: https://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/13020811/mk-kolom-agama-di-ktp-dan-kk-dapat-ditulis-penghayat-kepercayaan?page=all
Paramita, S., & Sari, W. P. (2016). Intercultural Communication to Preserve Harmony Between Religious Group in Jaton Village Minahasa . Jurnal Pekommas, 155.
Desfin Sabrina Ramadhini, Member YIPC Yogyakarta