Perbedaan adalah Hadiah yang Istimewa
Senang rasanya jika banyak pemberitaan dari berbagai media mengenai kerukunan di tengah-tengah perbedaan, contohnya seperti kerukunan umat beragama di Indonesia maupun di luar negeri. Namun, sedihnya beberapa kali kabar buruk tentang perbedaan yang melunturkan kasih dan adab manusia masih terjadi dan terulang.
Kali ini saya ada kabar sukacita yang akan menambah daftar kisah kerukunan di tengah-tengah perbedaan agama dan keyakinan yang pernah saya dapatkan dari alm.Kakek (beliau adalah pemeran utama dalam kisah ini), alm. Nenek dan alm.Paman saya sebelum mereka berpulang.
Kakek dan nenek memiliki 7 orang anak. Di dalam satu rumah sederhana, mereka hidup dan tumbuh bersama-sama. Orang seisi rumah mereka tidak menganut satu agama yang sama, namun menganut agama yang berbeda-beda. Perbedaan itu tidak menjadi hal yang membuat mereka berbeda satu sama lain, ataupun perbedaan tidak lantas membuat mereka merasa lebih unggul dan baik dari yang lain. Suasana kehidupan keluarga mereka sangat nyaman dan tenang, kira-kira seperti itulah deskripsi keadaan keluarga mereka menurut cerita dari anak-anaknya, yaitu Paman dan Bibi saya.
Dulunya nenek adalah seorang Protestan dan kakek adalah seorang Katolik. Saat mereka menikah, kakek memutuskan menjadi Protestan dan 7 orang anaknya juga beragama Kristen Protestan. Namun karena suatu kesalahpahaman di masa lalu yang menimpa kakek, lantas hal tersebut dianggap melanggar norma ataupun aturan sebuah gereja dan berakibat pada dikeluarkannya kakek sebagai jemaat. Kejadian tersebut menyebabkan kakek mendapat stigma negatif dari lingkungan, karena masyarakat menganggapnya sebagai individu yang tidak memiliki agama dan keberadaannya hina di tengah-tengah masyarakat.
Selama menjalani masa-masa itu, Kakek masih selalu dan akan selalu mengizinkan anak dan istrinya beribadah ke rumah ibadah dan kebaktian di rumah. Pada saat itu ada salah satu aliran agama Kristen yang kemunculannya tidak begitu mendatangkan respon yang positif dari masyarakat setempat. Seorang jemaat kemudian berkeinginan melaksanakan ibadah perayaan Natal di teras rumah Kakek yang luasnya dianggap dapat menampung jemaat mereka. Karena bangunan gereja mereka tidak akan mampu menampung jemaat di ibadah perayaan Natal.
Sebab itulah mereka mencari tempat yang lebih nyaman, walaupun tidak sekali dua kali niat mereka ditolak di beberapa tempat dan akhirnya Kakek memberi persetujuan pada mereka untuk melaksanakan perayaan natal dengan nyaman di teras rumah Kakek. Keputusan Kakek tidak diprotes oleh Nenek, Paman dan Bibi. Karena menurut mereka, terlepas dari tanggapan buruk yang tiada hentinya dari masyarakat terhadap kepercayaan orang lain, ternyata “lebih baik memproritaskan kenyamanan seseorang untuk melaksanakan ibadah” .
Keputusan Kakek memberi tempat pada mereka untuk melaksanakan ibadah natal menambah stigma buruk masyarakat kepada Kakek, apalagi saat itu Kakek dianggap tidak memiliki agama dan dianggap aneh memberi izin pada aliran yang belum sepenuhnya mereka percayai. Walaupun begitu Kakek tetap menghormati masyarakat tersebut agar tidak terjadi konflik.
Berselang beberapa tahun kemudian, salah satu pamanku menikah dan menjadi seorang Katolik. Paman dan istrinya tinggal bersama dengan Kakek dan Nenek. Maka saat berkunjung ke rumah Kakek dan Nenek dapat ditemui dua jenis salib yang berbeda.
Salah satunya adalah salib Kristen Protestan dan satunya lagi salib Katolik. Perbedaan kedua salib itu terletak pada design yang tentunya memiliki makna tersendiri. Salib Katolik biasanya masih ada Corpus atau tubuh Kristus yang disalib, sedangkan salib Protestan biasanya tidak menyertakan tubuh Kristus.
Mereka tetap hidup dengan nyaman dan mengesampingkan perbedaan. Ada dua jenis ibadah di rumah Kakek, yaitu kebaktian dan misa. Mereka pun tidak mempermasalahkan hal itu dilaksanakan di rumah. Kemudian berselang beberapa tahun lagi, ternyata Kakek menjadi seorang Muslim. Tidak ada penentangan dari nenek maupun paman dan bibi. Mereka sangat senang dan menghargai keputusan Kakek. Karena dukungan mereka juga, Kakek sangat taat dalam menjalankan ibadahnya.
Ada dua jenis salib di rumah dan kini ditambah dengan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur’an. Semula ada dua jenis ibadah, yaitu kebaktian dan misa, kini menjadi tiga jenis ibadah karena di tambah dengan ibadah per-wirid-an. Ketiga ibadah tersebut selalu berjalan dengan baik-baik saja tanpa ada gangguan. Kakek juga nyaman mengikuti puasa di rumahnya.
Jadi ketika hari besar perayaan keagamaan, rumah mereka selalu dikunjungi banyak orang, termasuk masyarakat yang dulunya beranggapan negatif pada Kakek. Sebelumnya kami para keluarga Kakek hanya berkumpul sekali dalam setahun, kini menjadi dua kali dalam setahun, yaitu saat lebaran dan natal-tahun baru, semua anggota selalu berkumpul dan rasanya senang sekali.
Mengingat kejadian-kejadian itu saya bersyukur karena pernah melihat kerukunan dari agen terkecil, namun bermanfaat bagi banyak orang, karena sejak itulah saya merasa perbedaan bukan hal yang buruk dan bukan pula mendatangkan petaka.
Sebenarnya tidak ada alasan untuk menghakimi orang lain dengan pilihan agama atau pun keyakinannya. Jika hal itu terjadi, saya rasa yang salah bukan agama atau kepercayaannya, namun pola pikir yang masih melekat pada stigma “cara kami lebih baik atau lebih tepat” sehingga kami menjadi “istimewa” berarti menjadi “satu saja”, tidak bermacam-macam, sehingga sulit menerima kehadiran ataupun macam-macam hal yang menjadikan konsep “satu saja” terkikis keistimewaanya bagi orang-orang tertentu.
Padahal semua istimewa dengan caranya masing-masing, dan perbedaan bukan menjadi alasan untuk bersaing. Juga, perbedaan bukan berarti celah untuk mencerai-beraikan manusia. Perbedaan yang saya lihat dan rasakan dari kisah ini adalah sebuah hadiah suka cita yang istimewa, jika kita memaknai dan menjalaninya dengan benar.
Subur Melati Br Ginting, Mahasiswa Sosiologi di Universitas Sumatera Utara